dari : MTAonline
Sebagaimana diberitakan di harian surya pada tanggal 30 September
2011 bahwa sebuah radio yang bernama Idzatul AL Khoir di Jl. Sukarno
Hatta yang didemo oleh ratusan orang dari berbagai organisasi keagamaan
adalah radio MTA dan bertempat di kantor MTA Ponorogo. Padahal
sebagaimana klarifikasi yang disampaikan oleh Al-ustadz Drs. Ahmad
Sukina, bahwa MTA tidak memiliki stasiun radio yang berada di kantor
MTA Ponorogo, tetapi memang ada kantor binaan pengajian MTA yang tidak
jauh dari lokasi radio tersebut.
Dalam harian surya edisi tanggal 1 oktober disebutkan oleh
al0-ustadz Drs. Ahmad Sukina bahwa radio Idzatul AL Khoir bukan radio
MTA, sebagaimana kutipan berikut,
Ketua Umum Majelis Tafsir Alquran (MTA) Ustad Ahmad Sukino dalam
klarifikasi kepada Surya menjelaskan, bahwa Radio Idzatul Al Khoir
bukanlah bagian dari Radio MTA. Tempat siarannya juga bukan berada di
Kantor MTA sebagaimana diberitakan Surya.
“Kami tidak punya radio di Ponorogo. Kalau kantor pembinaan
pengajian MTA memang ada, tetapi radio yang dipersoalkan tersebut tidak
berada di kantor kami,” katanya. (sumber : http://www.surya.co.id/2011/10/01/pengelola-radio-nu-sepakat-berdamai).
Sementara dari sumber lain kami merangkum
Sehari setelah Radio Idzatul Al Khoir yang berlokasi di Jalan
Soekarno-Hatta, Kelurahan Keniten, Kecamatan/Kabupaten Ponorogo
diprotes warga Nahdlatul Ulama (NU), kedua pihak akhirnya sepakat untuk
berdamai. Kesepakatan itu dicapai dalam sebuah pertemuan yang
difasilitasi Kapolres Ponorogo, Jumat (30/9).
Selain pihak
pengelola radio dan perwakilan massa yang melakukan demo, Kamis (29/9),
turut serta dalam pertemuan itu perwakilan dari MUI Kabupaten Ponorogo,
pengurus NU, Muhammadiyah, serta pengelola Islamic Center.
Mereka
duduk bersama untuk menghasilkan sebuah perdamaian. ”Siang tadi semua
diundang. Hasilnya, semua bersepakat tidak akan lagi membahas perbedaan
pemahaman agama dan memaafkan radio komunitas tersebut,” tutur Kapolres
Ponorogo, AKBP Yuda Gustawan.
Selain kesepakatan tidak akan
membahas perbedaan tafsir pemahaman agama, masing-masing pihak
berkomitmen untuk menghindari gesekan-gesekan seperti yang didugakan
sebelumnya. “Semua sudah menyadari dan sama-sama memaafkan, karena
kemarin hanya kesalahpahaman saja,” ungkapnya.
Seperti
diketahui, ratusan massa NU (bukan seribuan, seperti diberitakan
sebelumnya, red) dari organisasi Banser, PMII, IPPNU, dan Komunitas
Peduli Budaya Ponorogo yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Anti
Radikal (AMAR), Kamis (29/9) siang, melakukan demo di pusat Kota
Ponorogo. Mereka menentang ajaran radikalisme yang disebut-sebut mulai
muncul di wilayah tersebut.
Aksi demo ini, juga sebagai respons
atas siaran Radio Idzatul Al Khoir yang dinilai meresahkan warga NU.
Dalam siarannya, menurut sejumlah pendemo, radio tersebut menyiarkan
pandangan dakwah yang berbeda dan bisa memicu konflik SARA. Misalnya,
tafsir bid’ah atas tradisi reog, barongsari, kenduri, dan selamatan
tersebut.
Pengelola Yayasan Islamic Center, Ustad Mukhlis yang
juga pengelola Radio Idzatul Al Khoir menegaskan, radio yang siaran
sejak 2009 itu didirikan atas prakarsa umat Islam. Dan tidak benar jika
pihaknya mengharamkan reog.
“Tidak benar kalau siaran radio di
Islamic Center sampai mengharamkan reog dan budaya seni lainnya. Aksi
kemarin juga tidak sampai ribuan orang, hanya sekitar 200-an saja,”
jelas pria berjenggot ini.
Bukan MTA
Sementara itu, Ketua
Umum Majelis Tafsir Alquran (MTA) Ustad Ahmad Sukino dalam klarifikasi
kepada Surya menjelaskan, bahwa Radio Idzatul Al Khoir bukanlah bagian
dari Radio MTA. Tempat siarannya juga bukan berada di Kantor MTA
sebagaimana diberitakan Surya.
“Kami tidak punya radio di
Ponorogo. Kalau kantor pembinaan pengajian MTA memang ada, tetapi radio
yang dipersoalkan tersebut tidak berada di kantor kami,” katanya.
Dijelaskan
Ustad Ahmad, terkait masalah reog yang menjadi bagian dari persoalan
tersebut, pihaknya sebagai pimpinan tertinggi MTA yang ada di Surakarta
malah sering mengundang reog untuk menghibur masyarakat. “Untuk
menghidupkan tradisi, kami pernah mengundang reog dan wayang orang yang
hampir mati untuk tampil di Sriwedari. Jadi, mana mungkin kami
mengharamkan reog,” jelasnya.
Ditambahkan, Radio MTA tidak
pernah menyiarkan hal-hal yang meresahkan, namun mereka justru sering
difitnah karena hal-hal seperti itu. “Kami ini sering dapat fitnah,
katanya pernah begini, begitu. Padahal itu tidak pernah kami lakukan,”
tuturnya.
Gubernur Jatim Soekarwo secara terpisah mengatakan,
setelah mengetahui kabar adanya konflik terkait siaran radio di
Ponorogo itu, dirinya langsung menghubungi Bupati, Kapolres, dan
Komandan Kodim Ponorogo agar menyelesaikan masalah itu secepatnya.
Respons cepat dan bijak harus dilakukan, agar masalah tidak semakin
berlarut-larut. “Tapi jangan sampai ada kekerasan, harus dilakukan
negosiasi dan pembicaraan terhadap mereka,” ujarnya kepada Surya, Jumat
(30/9).
Selain Ponorogo, Pakde Karwo juga minta forum pimpinan
daerah (Forpimda) di kabupaten/kota lainnya juga pro aktif mewaspadai
gejala serupa. Karena tidak menutup kemungkinan apa yang terjadi di
Ponorogo juga terjadi di tempat lain di Jatim.
Khusus pengelola
Radio ‘Idzatul Al Khoir’, Pakde mengingatkan, agar benar-benar memahami
dua hal fungsi penting media. Yakni, memberitakan sesuatu tapi juga
bertanggung terhadap kondisi di masyarakat. Dengan begitu, berita tak
bisa sevulgar membeber masalah SARA yang jelas-jelas dilarang.
Sumber : Surya
BERITA TERKAIT : WARGA NAHDLIYIN PROTES MTA SAJARKAN WAHABI http://umatonline.net