Catatan dari : Mbah Wo Kucing
“Sekarang sudah salah kaprah memahami warok,” katanya. Raut gelisah dan menahan marah masih membalut wajah Kasni Gunopati dalam sepekan belakangan ini. Puluhan tahun hidup yang dia abdikan untuk menjaga dan melestarikan kesenian Reog Ponorogo terancam sirna. Situs milik Kementerian Kesenian dan Kebudayaan Malaysia mencantumkan Reog (disebut Barongan) sebagai warisan budaya Malayu. Barongan yang sama persis dengan Reog dikabarkan berkembang di Johor dan Selangor.
Sebagai warok yang bertugas menjaga kesenian Reog, naluri bertarung lelaki 82 tahun ini seakan ditantang setelah melihat klaim sepihak itu. Pria yang dikenal sebagai Kamituwo Kucing atau Mbah Wo Kucing ini merupakan warok paling sepuh dan paling digdaya di Ponorogo, Jawa Timur, saat ini. Dia disegani bukan karena menjadi Ketua Paguyuban Reyog Pujonggo Anom, melainkan juga lantaran kedigdayaan ilmunya yang konon tiada tanding. Jangankan ditebas golok, ditembak senapan pun peluru tak mampu menembus tubuhnya. Warga Desa Kauman, Kecamatan Sumoroto, Ponorogo, ini lahir sebagai orang biasa-biasa saja. Tapi lingkungan tempat dia hidup menempa Kasni kecil hingga memilih jalan hidup sebagai warok. “Tugas warok itu melindungi rakyat dari penindasan,” kata Mbah Wo Kucing. Sadar tugas yang bakal diemban cukup berat, beragam ilmu kanuragan dia pelajari. Setiap warok, kata dia, pasti memiliki ilmu kanuragan yang akan muncul saat dibutuhkan. “Tapi ilmu ini tidak boleh dipamerkan,” ucapnya.
Lelaki yang tetap bugar di masa senjanya ini mengatakan, sejak berusia 15 sampai 45 tahun dia berguru di perguruan kanuragan. Tradisi ngangsu kaweruh itu yang mengharuskan Mbah Wo Kucing berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Ada sekitar 50 orang guru yang dia jadikan tempat ngangsu kaweruh, seperti Raden Mas Djojopoernomo di Banyuwangi dan Sumodiningrat di Solo.
Salah satu fase terberat selama menimba ilmu adalah puasa mutih selama 40 hari 40 malam dan puasa total tiga hari tiga malam (ngebleng). Fase-fase berat itu justru membentuk kepribadian dan keteguhan para warok memegang prinsip hidup mengabdi kepada masyarakat. Dalam istilah dia, ilmu dari delapan penjuru angin sudah dia serap dan menjadi bekal mengabdi menjadi penjaga Reog. “Selama menjadi warok, kita tidak boleh menyakiti orang lain dan harus menjauhi perempuan,” katanya.
Selain menjaga kesenian Reog sebagai arena unjuk diri para warok, Mbah Wo Kucing mewariskan ilmunya kepada puluhan muridnya. Setiap bulan Suro dalam penanggalan Jawa, rumah Mbah Wo selalu ramai didatangi para muridnya. Dalam tradisi warok, penahbisan seseorang menjadi warok muda biasanya dilakukan pada malam 1 Suro. Tapi tradisi sejak abad ke-14 ini mulai menghilang sejak akhir 1970-an seiring dengan berkurangnya minat generasi muda menjadi warok.
Menurut Mbah Wo Kucing, tak mudah menjadi seorang warok sejati yang mengabdi sepenuhnya pada kepentingan masyarakat. Apalagi di tengah zaman yang kian mementingkan materi seperti sekarang, keberadaan warok sejati makin sulit ditemukan. Anggota paguyuban warok yang dia pimpin saja tak lebih dari 30 orang. Dari semua murid ini, belum tentu ada yang sukses menjadi warok sejati. “Mereka tidak lagi mendalami ilmu kanuragan sebagaimana warok masa lalu,” ujar warok yang menikah pada usia 45 tahun ini.
Yang lahir dari tangan Mbah Wo Kucing sekarang tak lebih dari warok yang bertugas sebagai penari reog. Mereka tak lagi menyelami ilmu batin yang menjadi ciri khas warok masa silam. Meski ilmu reog merupakan warisan dirinya, Mbah Wo Kucing mengaku risau. Dia khawatir tradisi ilmu kanuragan yang dimiliki para warok punah. “Kalau warok punah, berarti reog juga bisa punah,” katanya.
Keresahan ini juga dirasakan oleh warok Bikan Gondo Wiyono, yang akrab dipanggil Lurah Bikan. Seorang warok sejati, kata dia, saat ini sulit dijumpai di Ponorogo. Peran warok sekarang dalam pentas kesenian reog tak lebih menjaga pentas agar tak sampai terjadi kerusuhan. Kerisauan warok berusia 62 tahun ini makin menjadi-jadi karena kriteria warok juga bergeser.
Menurut Lurah Bikan, pada masa lalu seseorang layak disebut warok jika mencapai derajat tertentu dalam ilmu kanuragan. Kecakapannya juga sudah sampai pada maqom yang ditentukan para guru warok. Komitmen sebagai penjaga dan pelindung rakyat kecil juga menjadi ukuran seorang warok. “Sekarang sudah salah kaprah memahami warok,” katanya.
Seorang warok di zaman serba materi ini diukur dari posturnya yang tegap dan tinggi-besar. Warok juga dituntut pandai menari reog. “Jadi ukuran seorang warok sekarang cuma bodinya,” ucapnya. Kerisauan warok sepuh ini kian menjadi-jadi setelah Malaysia mencantumkan Barongan yang mirip dengan reog sebagai warisan budaya mereka.
Istilah warok muncul bersama hadirnya Suromenggolo dan Suroghento pada abad ke-14. Dalam bahasa Jawa, kata “warok” berarti lebih besar dan lebih kuat. Dalam perkembangannya, istilah ini digunakan untuk menyebut seorang pendekar yang tangkas berkelahi. Kekuatannya tak hanya fisik, tapi juga batin. Sayang, kekuatan batin ini yang kini mulai menghilang dari kehidupan warok masa kini. (DINI MAWUNTYAS)
Zaman Sudah Terbalik
Seorang gemblak merupakan sisi lain kehidupan warok yang mengundang beragam pendapat. Gemblak biasanya lelaki belasan tahun berwajah rupawan dan berkulit bersih yang dijadikan teman warok. Gemblak diperukan karena warok punya pantangan tak boleh menereskan sperma karena terangsang perempuan. Warok yang menggauli perempuan akan luntur kedigdayaannya.
Menurut Mbah Wo Kucing, gemblak bisa diperlakukan layaknya isteri atau sekadar anak. Ia tinggal bersama warok dan mengabdi sepenuhnya. “Selain menghibur, gemblak juga harus diasuh dan dipenuhi hajat hidupnya,” kata Mbah Wo Kucing. Seorang warok bisa memiliki lebih dari satu gemblak atau saling tukar gemblak milik warok lain.
Jumlah gemblak, kata Mbah Wo Kucing, juga menunjukan derajat dan kedigdayaan seorang warok. Semakin banyak gemblak, makin tinggi pula ilmu yang dimiliki. “Saya pernah memiliki 15 gemblak,” katanya. Mereka diasuh sejak usia 6 tahun dan kembali menjadi manusia biasa setelah berusia 30 tahun atau saat menikah. Seorang gemblak bisa datang menawarkan diri atau memang diminati warok.
Sebagai imbalan menjadi gemblak, biasanya warok memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Setiap dua atau tiga tahun seorang gemblak mendapat satu sapi atau kambing. Beberapa gemblak yang dipelihara Mbah Wo disekolahkan sampai lulus. Sedangkan peran mereka dalam pentas reog, gemblak menemari warok menari jathilan obyogan.
Kini gemblak laki-laki muda nan tampan sudah berganti rupa. Gemblak masa kini seorang perempuan atau waria. “Zaman wis molak-malik (zaman sudah terbalik), kok gemblakan perempuan atau waria,” ujarnya. Bagi dia, tradisi ilmu warok, tidak bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Baik itu ilmu kanuragan yang garus dikuasai atau gemblak yang menemani hidup para warok.