Laman

Minggu, 06 Maret 2011

Teteki ngalap Hidayah

Hanya kepada Engkulah kami beribadah,
dan hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan.
Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus ,

      Ya, Allah tunjukkan kami jalan yang lurus. Kalimat ini paling tidak 17 kali dalam sehari kita munajatkan kepada Allah dalam shalat. Pengharapan akan petunjuk ( hidayah ) agar hidup kita terbimbing kepada arah yang benar yaitu jalanya orang-orang yang mendapatkan nikmat dari Allah. Bukan jalan kehinaan yaitu jalan yang ditempuh orang-orang yang tersesat dari jalan Allah.
          Hidayah adalah cahaya atau pelita yang akan menunjukkan arah kemana, apabila kita berjalan dalam gelap. Orang yang mendapatkan hidayah hidupnya akan jelas dan tertuju kepada kebahagiaan hakiki. Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir ayat ke 6 dari surat Al-Fatihah ini menunjukkan perlunya tawasul untuk menggapai hidayah. Karena hidayah itu milik Allah semata, dan manusia akan mendapatkan karunia itu ,  setelah memenuhi  syarat-syarat yang telah ditetapkan. Ketika hamba Allah memuji Tuhanya, menyanjung sifat-sifat kesempurnaanya, kemudian melakukan ibadah khusus ( shalat, puasa , infaq, shadaqah  dsb.) Serta menghaturkan berbagai perbuatan yang baik ( amal shalih),   Allah pasti akan menunaikan hajat hambaNya. Jalan yang paling dekat kepada ridla Allah adalah jalan yang bersih dan lurus serta shahih terhindar dari berbagai macam bit’ah dan khurafat. Jalan itu adalah jalan yang sesuai dengan petunjuk al-Qur’an, sunah-sunah rasul dan jalan-jalan yang ditempuh orang-orang yang  diberi nikmat oleh Allah, yaitu jalan para salafushalih
          Sedangkan dalam kalimat  iyyaka  ( hanya kepada Engkau) na’budu  , ini ada pembatasan  yang memfokuskan  hajat  kita kepada tujuan yang satu, yaitu Allah.  Hajat itu adalah kebutuhan kita akan ibadah  dan pertolongan dari Allah. Ibadah secara  lughawi  berarti ketundukkan, sedangkan menurut syara’  adalah suatu hal yang menyatukan kesempurnaan dari rasa  kecintaan ( mahabah), ketundukan ( ubudiyah) dan ketakutan ( ulluhiyyah ) kepada Allah swt. Kalimat inilah  yang mensucikan hati kita dari berbagai penyakit rohani yaitu syirik .  Sedangkan kalimat “ hanya kepada engkaulah kami memohon pertolongan”  adalah pernyataan ketundukan dan  penyerahan diri yang akan mensucikan hati kita dari penyakit hati  berupa takabur dan sombong.
            Oleh karena itu berserah diri adalah inti dari ajaran Islam, karena Islam berarti   berserah diri. Namun kita tidak mungkin   rela berserah diri secara total ( 100%) apabila tidak didasari oleh iman yang kokoh, sedangkah iman yang kokoh tidak akan kita pegang kecuali atas  hidayah  dari Allah.dan hidayah itu akan dikaruniakan Allah kepada orang yang dihendaki  yaitu orang-orang yang rela menyerahkan hajatnya sepenuh-penuhnya kepada Allah. Apabila kita telah menyerahkan diri kita sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mengurus  hajat kita sepenuhnya pula. Tidak ada kekawatiran dan tidak pula ada bersedih hati , karena Allahlah penguasa alam semesta ini, juga penguasa di hari akhir kelak. Orang- orang yang berserah diri ini adalah  orang yang senantiasa  beriman dan bertaqwa kepada Allah. ( Baca QS Yunus:62-63 ). Mereka adalah  orang yang berhak menyandang kemuliaan disisi Allah. Namun sebaliknya kalau tidak sepenuh hati berserah diri, selain yang berisi keimanan maka hati kita akan dipenuhi  kekufuran
          Sesungguhnya  Allah tidak memandang harta, pangkat, status sosial   dan simbol kebanggaan duniawi  sebagai ukuran kemuliaan  seseorang. Karena bagi Allah orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertaqwa. Jadi ukuran kesuksesan seorang muslim bukan simbol duniawi, tetapi keberhasilanya  memenuhi hatinya dengan keimanan dan kerelaan berserah diri.   Untuk apa kita sibuk berbangga diri dihadapan manusia, namun lalai mengharap kebanggan dari Allah yang hakiki dan kekal abadi.
            Kita menyadari menyempurnakan iman dan taqwa   bukan perkara mudah, tidak mungkin kita bisa mencapainya tanpa perlindungan dan pertolongan Allah. Oleh karena itu kita berdo’a “  Tunjukkanlah kami kejalan yang lurus “ .  . Banyak halangan, rintangan dan hambatan yang akan merusak iman kita, karena kita punya musuh yang nyata yaitu setan, baik setan dari golongan jin maupun setan dari golongan manusia.
        Begitu juga harapan kita akan hidayah dari  Allah, maka hidayah itu tidak akan tergapai dengan tiba-tiba tanpa disertai tawassul dan usaha - usaha untuk meraihnya.  Maka keterangan diatas dapat dijadikan pegangan, bahwa Islam tidak mengajarkan fatalisme, tetapi manusia dikaruniai kemampuan bersikap untuk menentukan pilihan,  apakah ia termasuk orang beriman atau kufur  kepada  Allah s.w.t. Meskipun demikian manusia sama sekali tidak memiliki kuasa untuk membuat orang lain menjadi beriman atau tidak beriman. Meskipun dia adalah orang-orang yang dicintainya, orang-orang yang disayanginya, apakah itu anak, istri, suami, orang tua atau kekasihnya sekalipun.
          Hidayah sebagai pelita dalam kegelapan,  sebenarnya dapat diperoleh dengan mudah oleh siapapun , tanpa memandang suku bangsa dan bias gender.  Karena Islam adalah agama terbuka,  asalkan  orang itu memang berkehendak untuk mendapatkanya. Dengan demikian sebenarnya tidak ada alasan untuk berbantah, bahwa dirinya tidak dikaruniai hidayah oleh Allah. Sebuah alasan yang sia-sia, karena wujud nyata dari hidayah atau petunjuk itu adalah sebuah risalah yang  jelas dan terang. Risalah nyata itu adalah Kitab yang benar A l-Qur’an ul   karim.  Adakah di jaman ini  kesulitan untuk memahami Al Qur’an ?  Allah berfirman dalam  QS Al-Baqarah:1-2 :
” Alif laamm mim . Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya;  petunjuk bagi mereka yang bertakwa “,
     kalimat hudalil muttaqin, menunjukkan bahwa bahwa al-Qur’an inilah hidayah atau petunjuk yang nyata bagi orang-orang yang bertaqwa. Tidak mungkin orang yang tidak bertaqwa mau mempelajari Al-Qur’an.  Begitu pula sebaliknya  al- Qur’an juga tidak memberikan manfaat  bagi orang-orang kafir,  yaitu orang yang  penglihatan, pendengaran dan hatinya telah terkunci mati  atau tertutup oleh ghiswah  berupa nafsu,  kesombongan, persepsi dan hajat duniawi lainya.
Sungguh celaka, orang yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang menjadikan nafsunya sendiri sebagai tuhan, dimana ia hanya percaya kepada pendapat, angan-angan serta kepentinganya sendiri sebagai penunjuk arah hidupnya. Dengan sengaja mereka  mengabaikan petunjuk kebenaran dari Al-Qur’an. Bahkan dia berolok-olok, dan menghina ayat-ayat suci yang jelas-jelas tidak ada keraguan padanya, karena Allah telah  menyempurnakanya sebagai mukjizat akhir Zaman.
              Hawa nafsu memang liar, kalau kita tidak mengendalikanya , sebagaimana  menarik kekang kuda yang binal. Telah  banyak orang yang terjebak dengan nafsunya sendiri, bahkan nekad mensiasati ayat-ayat Allah sebagai sumber hukum untuk disesuaikan dengan kemauan dan kepentinganya. Berhati-hatilah, sungguh licin tipuan setan, sungguh tipis tabir kebenaran dan kebathilan dalam kehidupan dizaman yang penuh fitnah bagai gelombang samudra. Namun bagi orang-orang yang memiliki pelita hidayah sebagai penunjuk jalan , maka jalan itu sungguh lapang dan jelas !  Semoga Allah senantiasa mengkaruniai kita hidayah dan melindungi kita dari fitnah ! ( Kang Padjar )