Laman

Sabtu, 07 Agustus 2010

ORA KUMANTIL KADONYAN

warokkini, Ora kumanthil kadonyan ora ateges ora kadunungan donya, Tidak bergantung duniawi bukan berarti melepaskan keduniaan. Pitutur luhur para tetua warok tersebut memberikan ruang waktu kodrat manusia untuk menjalani hidup wajar, menurut jamanya. Pemahaman inilah yang memungkinkan Gotrah Ponorogo kukuh memegang nilai warok di saat kekinian.
Dalam tulisan saya yang lalu saya ulas bahwa warok adalah pencapaian spiritual dimana seseorang mampu melepaskan nafsu sahwatnya. Hakekat warok yang menahan diri terhadap keburukan dan melepaskan diri berbuat berlebihan mengandung nilai Juang bahwa warok telah mampu memerdekakan diri dari penjajahan nafsu.

Para Gotrah warok, pemahaman diatas sama sekali tidak bermaksud merubah kodrat manusia sebagai manusia. Manusia tidak akan pernah menjadi dewa atau malaikat. Manusia tetap menjalani fitrah manusiawi, yang perlu makan untuk hidup, perlu cinta untuk bersosialisasi, perlu istri dan rumah tangga untuk kembali sehabis bekerja dan mengabdi.

Dari akar ajaran warok itu sendiri yaitu zuhud dan wara’, dimana wara’ dimaksudkan mampu menahan diri untuk berbuat mudharat ( keburukan ) sedangkan Zuhud dimaksudkan sebagai pengendalian diri untuk tidak berlebihan menuruti kesenangan, dapat dipahami bahwa kedua fondasi spiritual itulah laku utama untuk memerdekakan diri bergantung pada nafsu shawat, dan menjadi seorang warok sejati.
Laku seorang warok yang memerdekakan diri dari nafsu duniawi, bukan berarti melepaskan dunia ini sama sekali. Ini adalah sesuatu yang mustahil dan bertentangan dengan kodrat manusiawi sebagai manusia. Yang disebut Zuhud adalah apabila Engkau meninggalkan dunia dari hatimu meskipun dunia itu dalam genggamanmu. Sebagaimana dicontohkan Umar bin Khatab, meskipun beliau seorang khalifah ( raja ) dimana kekuasaan, harta dan tahta ada digenggamanya, beliau tetap hidup sederhana dan bersahaja. Sama sekali tidak dianggap nafsunya untuk bersenang-senang berlebihan dan memanfaatkan kekuasaan, harta dan tahta yang ada digenggamanya.

Seorang warok masa kini tidak harus hidup miskin, compang-camping dan menderita. Orang yang susah hidupnya karena miskin, tidak dapat disebut zuhud, karena barangkali hatinya justru marah dan menyalahkan Tuhan. Bahkan sering berbuat maksiat ( tidak wara’ ) untuk mencukupi kebutuhanya.
Zuhud seorang warok berarti tidak memanfaatkan kukuasaan, kemampuan , harta dan kesempaan untuk memperturutkan nafsu sahwatnya. Dan apabila hatinya sudah terbebas dari nafsu, yang ada hanyalah nilai-nilai kearifan dari Tuhan. Hatinya hanya ada Tuhan, itulah yang dimaksudkan sebagai warok sejati.