Laman

Rabu, 04 Agustus 2010

jatidiri warok 2

Warok itu berani mengalahkan nafsunya sendiri. Warok bukan brandal tetapi cerminan pencapaian spiritual yang telah matang, berbudi pekerti luhur dan berani membela kebenaran.WAROK ADALAH PENCERMINAN KEMATANGAN JIWA


Warokkini, Dalam ulasan saya bagian 1 , hemat saya paling tidak ada 4 akar yang menjadi sumber budaya di Ponorogo, yaitu Islam, Hindu, Cina dan Animisme. Meskipun dalam Norma tidak mungkin disatukan tetapi secara kultural dapat terasimilasi secara baik. Sebagaimana warna budaya di daerah-daerah Mataraman lainya , Assimilasi antara berbagai budaya local dan pengaruh asing berbaur menjadi sikap hidup yang mereka sebut sebagai Budaya KEJAWEN.

Dalam hal ini saya akan mengulas sebutan warok, yang mana istilah ini tentu sudah sangat jelas warna Islamnya. Hal ini tidak lepas dari situasi akhir masa Kejayaan Majapahit dimana di Ponorogo terjadi gejolak Politik yang tak kalah rumit. Beberapa Bathara atau pemimpin wilayah kekuasaan majapahit termasuk Ponorotgo, tidak puas terhadap pemerintah pusat. Kita kenal beberapa Tokoh seperti Ki Ageng Kutu, atau demang Surukubeng atau dikesempatan lain disebat demang Surya Alam. Dari sebutanya jelas Ki Ageng Kutu bukan Bathara di Ponorogo, Tetapi karena tidak stabilnya Polotik maka pengaruh beliau ini sangat Dominan.

Disisi lain Pusat Pemerintahan Majapahit memang sedang Kritis, Majapahit sudah berada pada masa keruntuhan. Beberapa Bangsawan termasuk Raden Fatah bahkan mendirikan kerajaan Demak Di Jawa Tengah yang didukung para wali. Kerajaan Baru ini Jelas beraliran Islami. Dalam situasi inilah Raden Fatah mengutus kerabatnya yang bernama Raden Katong yang juga bangsawan Majapahit untuk mengendalikan Ponorogo dan akhirnya diangkat menjadi Bathara dan disebut Bathara Katong.

Akhirnya Ponorogo aman kembali namun saat itu sudah berada dibawah kendali Demak Bintoro, karena Majapahit benar-benar runtuh. Dimasa inilah berkembangnya Agama Islam di Ponorogo . Usaha Batahara Katong untuk menstabilkan Masyarakat Ponorogo, tidak hanya dengan jalur militer dan jalur politik tetapi juga dengan pengembangan budaya. Istilah warok disaat inilah mulai dikenal sebagai media dakwah .

Warok berasal dari bahasa Arab “ AL-WARRA” yang secara terminologis diartikan sebagai menahan diri dari berbagai hal yang dapat menimbulkan mudharat ( keburukan ) yang dapat menyeret kepada subhat dan akhirnya kepada yang kharam. Apabila ada istilah “ Wara’a yara’u war’an wa wari’an wa wari’atan “ diartikan menjaga dan mengindar dari perkara yang diharamkan. Pelakunya disebut wari’un wa muttawari’un . Al-warra’ adalah kekuatan besar yang dapat menggerakkan ketaqwaan pada Tuhan. (Al_Qaamuus, 3/96, assaaul-balagh hal.496 dan AL-Mu’jam Al-wasiith,21 )

Dalam ajaran Islam kemampuan untuk melawan nafsunya sendiri adalah jihad yang paling besar . Jihad memerlukan keberanian, Dengan demikian dalam kontek budaya Ponorogo Keberanian adalah salah satu nilai utama yang harus dipegang. Dalam pencapaian kematangan olah jiwa wara’ selalu disertai dengan zuhud. Wara’ artinya berani menahan diri untuk tidak melakukan keburukan, sedangkan Zuhud adalah berani menahan diri untuk tidak berlebihan melakukan hal yang menyenagkan. Muara keduanya adalah kesederhanaan.


KONTEK KEKINIAN SANG WAROK,

Orang Ponorogo mestinya geli, menyaksikan warok yang digambarkan tokoh sangar, dengan jambang lebat dan tubuh gendut ( bukan gempal ), serta berperilaku dan berkata kasar. Saya sering diledek, bahwa arti warok itu “nek wareg banjur ngorok “ arinya kalau sudah kenyang terus tidur ngorok.


Sosok Sang Warok
Penggambaran seperti itu sama sekali tidak relevan dengan nilai-nilai sang warok. Karena Para warok yang sebenarnya di Ponorogo secara fisik justru Alim, tidak ada yang gendut karena suka tirakat ( puasa ) bahkan pantang berperilaku kasar Siapa yang salah ?

Sedulur Ponorogo yang saya banggakan, Mari kita kembalikan nilai sang warok pada darah jantung kita. Kita revitalisasikan nilai-nilai itu sebagai sikap hidup sehari-hari. Kita harus menjadi warok masa kini, tidak perlu berlaku sirik, menguasai supranatural dan kesaktian yang menjadi tahayul. Tetapi kita endapkan nilai nilai sang warok jadi pegangan hidup :

1. Warok harus punya keberanian, bukan untuk mencelakai orang lain, tetapi untuk menundukkan nafsu buruk kita.
2. Warok harus punya kekuatan pengendalian diri, tidak hanya untuk berbuat buruk, tetapi mengendalikan diri bersikap berlebihan
3. Jaga diri kehormatan warok, jangan emosi dan berbuat kasar.
4.

Baca bagian selanjutnya .